Minggu, 14 Juni 2015

KERAJAAN GALESONG


Asal Usul Kerajaan Galesong
"Nama Raja Galesong, Mattinroa Ri Bobojangan, sebenarnya bukan nama yang sesungguhnya, tapi gelar. Sebab, kala itu nama asli raja dilarang untuk disebut atau dikenal khalayak. Yang jelas, beliau adalah keluarga dekat dari I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape atau Sultan Hasanuddin." Papar  Karaeng Gassing, salah seorang Tokoh Pemangku Adat karaeng Galesong.

"Berdasarkan yang tercatat dalam lontara, gelar Mattinroa Ri Bobojangan disandangnya karena beliau mangkat dan dikebumikan disuatu tempat yang bernama Bobojangan. Nama itu pun terus melekat dan menjadi hal yang sangat sakral," lanjut Papar  Karaeng Gassing.

Mulai saat itu, tepatnya abad XVI, terbentuklah Kerajaan Galesong yang dinakhodai Mattinroa Ri Bobojangan. Galesong yang awalnya dirancang menjadi pelabuhan niaga di samping sebagai pelabuhan pemecah ombak dari Pulau Sanro Bengi, berperan sebagai basis pertahanan pantai dari pemerintahan Sombaya Ri Gowa.

Atas kekokohan pertahanan yang terbangun di Kerajaan Galesong, Sombaya Ri Gowa membina kesatuan dengan Karaeng Galesong untuk melawan kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Sulawesi Selatan.


Hilangnya benda tersebut, pappekang ini juga mengaku kalau bermacam-maca suara gaib yang didengarnya sontak menghilang. Dari laporan inilah, Daengta Lowa-Lowa, kemudian mengklaim bahwa peristiwa tersebut kemungkinan rahmat dari Allah SWT yang ditujukan untuk kemaslahatan Galesong dan masyarakatnya.

Menurut dia, peristiwa yang dialami pappekang juga dialami Daengta Lowa-Lowa, yang ikut memancing karena penasaran akan informasi tersebut. Kemudian, temuan itu juga disampaikan Daengta Lowa-Lowa kepada tokoh masyarakat lainnya yaitu, Boe Janggo, yang pada pekan depannya melaut untuk menelusuri asal muasal suara tersebut.

Pada tahun 1914  Kerajaan Galesong yang  di  Pangku Oleh Karaeng Larigau Dg. Mangingruru  yang berakhir pada tahun 1951, kemudian  selanjutnya  pada tahun 1952 sampai dengan 2009 dilantiklah  A.J.Bostan Karaeng Mamad’ja sebagai Pemangku Adat Karaeng Galesong, nama pemangku adat ini sebagai pengganti nama kerajaan karena tidak memungkin lagi pada struktur ketatanegaraan di Indonesia. Kerajaan Gowa dan Galesong tidak bias terpisahkan pada saat itu.

Perlawanan Karaeng Galesong dan Trunajaya di Malang

Setelah Trunajaya dapat merebut keraton Mataram pada tanggal 28 Juni 1677 ia segera membawa berbagai pusaka kerajaan ke markasnya di Kediri. Sementara pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong bergerak menuju Bangil untuk membuat kubu pertahanan. Sangat disayangkan kemudian terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Karaeng Galesong karena masalah keluarga. Karaeng Galesong sendiri adalah menantu Trunajaya sebagai tanda persekutuan mereka. Pada 5 September 1678 pasukan gabungan Kompeni dan Mataram bergerak menuju Kediri di bawah Anthonie Hurd dan Sunan Amangkurat II. Pasukan ini bergerak dari Jepara melewati Grobogan, Grompol, Kajang, dan Madiun di mana pasukan Kapten Tack bergabung setelah menempuh Keduwang dan Panaraga. Lalu pasukan bergerak ke Singkel untuk persiapan menyerang Kediri. Terjadi pertempuran sengit di Tukon dan dengan susah payah Singkel dapat dikuasai. Pasukan Tack di Grompol juga dihadang pasukan berkuda Trunajaya.
Kondisi politik kemudian memihak pihak Trunajaya setelah gagalnya perundingan antara Kompeni dan Karaeng Galesong. Karaeng Galesong berusaha mencari bala bantuan yang kuat bagi pihak Trunajaya. Pada 17 November 1678 pasukan Kompeni menyeberangi Sungai Brantas dengan dilindungi tembakan lima buah meriam. Beberapa hari kemudian (25 November 1678) barulah dilakukan serangan umum. Akhirnya karena kekuatan musuh jauh lebih besar Trunajaya terdesak dan berhasil menyingkir ke arah timur. Pusaka-pusaka keraton termasuk mahkota Majapahit jatuh ke tangan Kompeni dan diserahkan kembali kepada Sunan Amangkurat II pada 27 November 1678.
Setelah jatuhnya Kediri, Trunajaya menyingkir ke Blitar dan akhirnya menuju Malang dalam kesulitan mencari tempat pertahanan baru. Trunajaya kehilangan 400 orang prajurit akibat penyakit dan kekurangan bahan makanan. Lebih-lebih lagi, pengiriman bahan bantuan berupa 8 perahu bahan makanan dari Madura untuk pasukan Trunajaya jatuh ke tangan musuh. Tekanan dan kepungan Kompeni kepada pasukan Trunajaya yang sudah makin melemah karena kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit semakin berat. Beliau terpaksa membawa memutar pasukannya berpindah ke Batu. Dalam keadaan serba sulit, Trunajaya mendapat dukungan dari daerah-daerah seperti Kediri, Panaraga dan Kertasana. Sebanyak 500 orang prajurit Madura dikirim melalui Wirasaba ke Malang untuk memperkuat barisan Trunajaya. Saat di Batu ini, istri Trunajaya meninggal dunia karena terserang penyakit, menyusul kemudian satu-satunya putra lelakinya juga wafat. Dari Batu Trunajaya beserta pasukannya bergeser mengatur strategi pertahanan ke Ngantang. Sementara semakin lama jumlah kekuatan pasukan semakin berkurang, kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit. Masih beruntung keadaan alam yang berupa pegunungan serta hutan rimba di Ngantang menghambat laju tekanan pasukan Kompeni.
Sedangkan karena perundingan gagal, pasukan Karaeng Galesong membuat kubu pertahanan di Bangil dan Kapar, sebelah utara Sungai Porong. Kompeni meminta bantuan Arung Palakka dari Bone untuk menangkap Karaeng Galesong. Pada tanggal 23 Agustus 1679 pasukan gabungan Bugis dan Kompeni di bawah Jacob Couper berangkat dari Surabaya menuju ke Kapar, markas pertahanan Karaeng Galesong. Pihak Kompeni memberi ultimatum kepada pasukan Makassar untuk menyerah. Beberapa pemimpin pasukan Makassar memenuhi permintaan itu pada tanggal 30 Agustus di antaranya Daeng Tulolo. Mereka menyatakan akan bersedia untuk menyerah. Namun tidak ada tindak lanjut dari pertemuan tersebut. Akhirnya Kompeni memutuskan menyerang Kapar pada tanggal 8 September 1679 di bawah pimpinan Arung Palakka. Sebelumnya Kapten Joncker dan pasukan Ambonnya berusaha merebut Kapar namun gagal. Pada tanggal 21 Oktober 1679 Kapar jatuh ke pasukan gabungan dalam pertempuran yang sengit dan banyak jatuh korban.
Serangan kemudian ditujukan kepada pertahanan Trunajaya, yaitu yang berpusat di Batu. Di situ dibangun semacam keraton yang dikelilingi oleh pagar. Pengikutnya diperkirakan hanya berjumlah sekitar seratus orang dan mengalami kekurangan makanan. Pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong juga mengundurkan diri ke Malang. Dengan jalan perundingan, van Vliet, komandan pasukan Kompeni, mencoba mengadakan perdamaian. Persetujuan akhirnya tercapai dengan ketentuan bahwa pasukan Makassar tidak akan menghalang-halangi pasukan Kompeni dalam melakukan serangan terhadap Trunajaya. Karaeng Galesong juga berjanji bersedia untuk dipulangkan ke Makassar. Setelah mendengar akan kejadian itu Trunajaya segera memindahkan Karaeng Galesong ke Ngantang. Namun sebelum adanya pengaturan yang pasti, Karaeng Galesong meninggal karena sakit pada 21 November 1679. Karaeng Galesong kemudian dimakamkan di Desa Sumberagung, Kecamatan Ngantang sekarang. Oleh warga sekitar makam itu disebut sebagai makam Mbah Rojo. Lokasinya sekitar 5 km dari obyek Wisata Bendungan Selorejo.
Sebelum meninggal, Karaeng Galesong menunjuk putranya yang berusia sekitar 17 tahun, Karaeng Mamampang, sebagai penggantinya untuk menghindari perselisihan di antara orang Makassar. Karaeng Mamampang mengikuti keinginan ayahnya dan membujuk pengikutnya untuk diberangkatkan ke Makassar. Sekitar 120 orang mengikuti perintahnya, tetapi sekitar 900 menolak dan tetap bergabung dengan Trunajaya.
Jacob Couper berusaha menghubungi Trunajaya dengan surat akan tetapi tidak berhasil. Akhirnya Kompeni memutuskan untuk mengadakan serangan ke Ngantang. Di Kalisturan, di kaki pegunungan Batu, pasukan Bugis menemukan 50 lelaki, wanita, dan anak-anak Makassar dalam keadaan kelaparan. Mereka mengatakan bahwa 300 lainnya berada di pegunungan namun tidak dapat turun menyerahkan diri karena jalan di Gunung Rarata (Ngrata) ditutup pasukan Madura. Esok paginya pasukan Bugis merebut kubu Madura di Rarata dengan serangan mendadak. Mereka memaksa pasukan Madura melarikan diri lebih ke atas gunung. Pasukan Madura mundur ke garis pertahanan kedua, yang berupa dua dinding bambu yang saling berhadapan dan dipisahkan oleh sungai kecil yang efektif menahan pergerakan naik atau turun gunung. Arung Palakka bersama sekelompok pasukan berputar mencari jalan untuk menyerang dari belakang. Sementara itu, kapten Belanda van Vliet menuruni lembah gunung dengan pasukan Bugisnya dan secara tiba-tiba menyerang dari atas, sehingga yang diserang pun lari berhamburan dengan menunggang kuda. Pasukan Bugis mengejar mereka selama hampir dua jam dan tiba di sebuah perkubuan besar pasukan Makassar dan Madura. Pasukan Belanda tiba setelahnya, tapi sebelum serangan dilancarkan, hujan mulai turun dan kabut tebal pun datang. Ketika pasukan Bugis dan Belanda tiba di perkemahan, di Ngantang, pada hari berikutnya, mereka telah melarikan diri kecuali empat bangsawan Makassar beserta 300 orang, wanita, dan anak-anak. Mereka memberi tahu Arung Palakka bahwa masih ada sekitar 1.500 orang Makassar, tidak termasuk wanita dan anak-anak, yang berada di bagian atas gunung.
Pada saat-saat pihak Trunajaya terdesak timbullah ketegangan antara Sunan dan Arung Palakka. Sebabnya adalah bahwa menurut desas-desus dan persaksian orang-orang tertentu ada hubungan antara Arung Palakka dengan Trunajaya. Yang pertama telah menerima hadiah dari yang terakhir sebagai sebuah usaha penyuapan. Ada ajakan dari pihak Trunajaya untuk bersama-sama pergi ke Majapahit guna mendirikan benteng di sana. Kenyataannya adalah bahwa Sunan menjauhkan diri dari Arung Palakka dan pihak Kompeni tidak mengikutsertakannya dalam operasi penangkapan Trunajaya. Terhadap Trunajaya sendiri Sunan menjalankan taktik baru, yaitu bersikap bersahabat dan menganggap dia sebagai kawula. Sebaliknya Trunajaya masih berusaha membujuk Sunan agar memisahkan diri dari persekutuannya dengan Kompeni karena rakyat Jawa akan dinasranikan oleh Kompeni. Sunan berketetapan hati untuk bersekutu dengan Kompeni.
Selanjutnya di sebuah gunung yang bernama Kunjangan pasukan Belanda dan Bugis melakukan pengepungan. Mereka berharap membuat orang Makassar dan Madura kelaparan dan keluar dari persembunyian. Setelah beberapa lama seseorang bernama Tumenggung Wirapaksa turun dengan bendera putih menuju Arung Palakka dan mengatakan bahwa dia dikirim langsung ke Arung Palakka oleh tuannya Trunajaya. Arung Palakka berkata padanya, “Marilah turun gunung menuju Komandan [Belanda] di mana kau bisa menyampaikan pesanmu.” Tetapi Tumenggung menolak. Dia mengatakan bahwa pesan ini bukan untuk Kompeni tapi untuk Arung Palakka sendiri. Jawaban Arung Palakka memperlihatkan tujuannya tidak memusuhi Trunajaya tetapi untuk menangkap Karaeng Galesong: “Saya tidak berperang dengan Sultan [Trunajaya] dan karena itu tidak perlu berdamai dengannya. Saya di sini atas nama Kompeni dan menuruti perintah Komandan.”
Gagal membujuk Arung Palakka, utusan Trunajaya kembali ke gunung. Belanda kemudian memberitahu orang-orang Makassar di perkemahan Trunajaya bahwa jika mereka menyerah akan diperlakukan dengan baik. Tapi jika menolak, akan dihancurkan. Sekitar 2.500 orang memutuskan untuk menerima tawaran ini dan turun dari kubu pertahanan di gunung pada tanggal 15 Desember 1679. Jumlah rombongan ini mengejutkan Belanda yang menganggap mereka beruntung karena orang-orang Makassar ini memutuskan menyerah daripada bertempur. Untuk penyegaran, Jacob Couper digantikan oleh Kapten Joncker sebagai komandan pasukan Kompeni. Lima hari kemudian pada 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura dan Makassar, di antaranya para wanita dan beberapa ekor kuda turun dari lereng gunung dan segera ditangkap pasukan Kompeni pimpinan Kapten Joncker.
Ditinggal sekutu Makassar mereka, Trunajaya melarikan diri melalui hutan dengan semak berduri di belakang kubu pertahanan dan pergi ke Pugar. Selama hari-hari terakhir perlawanan Trunajaya hanya terdapat 25-30 orang Makassar yang masih bersamanya. Dengan mengorek keterangan dari orang Makassar yang tertawan, Kapten Joncker berhasil mengepung Trunajaya di Gunung Limbangan (di lereng utara Gunung Kelud) di mana dia beserta barisannya hendak bertahan terakhir. Sunan pun bergerak mendekati tempat itu dan menghendaki agar setelah Trunajaya ditangkap diserahkan kepadanya. Dalam keadaan sangat terjepit, Trunajaya mengirimkan utusan tiga kali, akan tetapi waktu sudah lewat untuk mengadakan perundingan. Terkepung dari segala penjuru dan bahaya kelaparan sangat melemahkan moral barisan yang kira-kira masih terdiri atas 3.000 orang itu. Tidak ada jalan lain daripada menyerah. Akhirnya Trunajaya menyuruh pengikutnya mengumpulkan tombak dan kerisnya, lalu menyerah kepada Kapten Joncker. Terlebih dulu dikirim para wanita dan abdi biasa, baru kemudian Trunajaya beserta pengikutnya, antara lain Pangeran Mugatsari, Anggakusuma, Ngabehi Wiradersana, dan pasukan Makassar menyerahkan diri pada 25 Desember 1679. Kedua tangan beliau diikat dengan cinde sutera. Diberitakan kemudian bahwa di dalam tawanan Trunajaya masih mempunyai rencana mengadakan perlawanan, maka dari itu Sunan menuntut supaya dia segera diserahkan kepadanya. Untuk menepati sumpahnya, keris Kyai Balabar tidak akan diberi sarung besar sebelum dipakai untuk menusuk dada Trunajaya. Di sekitar tapal batas Kediri, Sunan menikam Trunajaya dengan keris tersebut, kemudian para menteri secara bergiliran memberikan tikamannya pula (2 Januari 1680).
Makam Karaeng Galesong di Jawa Timur-Ngantang
Sejarah menuturkan,perjuangan Karaeng Galesong berlanjut ke tanah Jawa. Ia berlabuh diwilaayah timur pulau Jawa dengan jumlah pasukan yang besar. Belum ada data yang jelas namun ada yang mengatakan lebih dari 4000 prajurit. Dimasa itu di wilayah jawa Timur terdapat penguasa besar ini saling bermusuhan. Karaeng Galesong diakrabi oleh Trunojoyo dan mendapat restu menikahi keponakan Trunojoyo.

Pelarian Karaeng Galesong ketanah Jawa dikarenakan kekalahan kerajaan Gowa oleh Belanda pada tahun 1669. Ia tidak ingin berada dibawah jajahan Belanda, karenanya memilih untuk meninggalkan tanah Gowa bersama beberapa kerabat kerajaan. Mereka anatara lain Karaeng Tallo. Sultan Harunarrasyid Tumenanga ri Lampanna dan daeng Mangappa, saudara kandung karaeng Tallo. Dua lainnya paling terkenal adalah Karaeng Galesong Tumenanga Ritappana, dan Karaeng Bontomarannu Tumma Bicara Butta Gowa.

Sebelum perkawinan Karaeng Galesong, Turnojoyo meminta Karaeng galesong dengan Pasukannya menyerang Gresik dan Surabaya yang berada dalam kekuasaan Adipati Anom, Pasukan Karaeng Galesong seperti ditulis ahli sejarah Belanda, Degraff, karaeng galesong, berhasil mengobrak  abrik pasukan Adipati Anom yang kemudian lari kejawa Tenga.

Menurut catatan sejarah, pada 21 November 1679 sang panglima wafat di daerah Ngantang Kabupaten Malang. Kisah kematiannya diperoleh sejarawan Leonard Andaya dari Kolonel Archief, yang catatannya sekarang masih tersimpan rapi di Denhag.
Abadi di Ngantang Adalah, sebuah daerah di Kabupaten Malang, tidak jauh dari kota Batu yang menjadi peristirahatan terakhir sang Karaeng. Daerah ini sejuk dan asri, dan disinilah terdapat sebuah pemakaman yang luasnya sekitar seratus meter persegi, dengan beberapa pohon kamboja tua.
Suasana pemakaman Nampak bersih, hanya terdapat beberapa batu nisan dengan tatanan batu batu tua yang sudah berlumut dan sebuah gundukan agak memojok dengan nisan yang telah berlumut pula. Diyakini pula makam ini adalah kerabat Karaeng Galesong, tidak jauh dari gundukan tersebut, terdapat batu nisan dari marmer yang tampak belum begitu lama dipasang. Disinilah makam Karaeng Galesong berada.kuburan yang ditata dengan tumpukan batu bata dipenuhi lumut. Diantara nisan dan kuburan, berdiri tegak tiang sekitar satu meter dengan bendera merah putih. Dibawah kibaran bendera terdapat tulisan “ Pejuang”

Pada prasasti marmer dikuburan itu terukir tulisan dengan warna emas menggunakan bahasa Arab yang terjemahan bebasnya berarti. “ disinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang dijalan Allah.” Dibawah prasasti itu terdapat tulisan nama sebuah kelompok pengajian yang menyebut diri warga Malang keturunan Galesong.
Masyarkat Bugis Makassar di Malang memang  banyak bermukim di Malang dan Sekitarnya, Karaeng salah satu artikel dibuletin Anging Mammiri yang diterbitkan oleh KKSS Malang Raya.
Salahuddin Basir menuliskan bahwa Dr. Wahidin Sudirohusodo, motor pergerakan Budi Utomo masih merupakan keturunan Galesong. Pada tahun 60-an, seorang guru di Universitas Gajah Mada bernama Prof. Mr. Djojodiguno, pakar Hukum yang terkenal, sering bertutur kepada mahasiswanya bahwa ia berdarah Makassar, merupakan keturunan Karaeng Galesong. Tentu kita juga masih ingat Setiawan Djodi, seniman dan budayawan yang di nobatkan sebagai keturunan Karaeng Galesong beberapa tahun lalu.
Karaeng Galesong adalah Putra dari Sultan hasanuddin, Ayam jantan dari Timur yang melarikan diri ketika kerajaan Gowa/Bone dikalahkan Belanda dan melarikan diri ke Tanah Jawa.
Keberadaannya baru diketahui ketika ada upaya menjadikan Karaeng Galesong ini sebagai Pahlawan Nasional. Sampai sampai data tentang desa tempat dia mengasingkan diri dicari sampai dibuku buku peninggalan Belanda di Musium Laeiden.
Demikian kisah ini semoga menjadi rujukan bagi kita bahwa Galesong merupakan Tempat bersejarah yang menorehkan banyak cerita cerita sejarah serta Perjuangan yang patut kita banggakan.

Dikutip dari beberapa Sumber berita dan diambil langsung dari Prof . H. Aminuddin Salle, budayawan sejarah Karaeng Galesong *red)
 
Makam Krg. Galesong di Ngantang-Jawa Timur

3 komentar: